Seberapa penting “sejalan” dengan pasangan?

Kita semua tahu pernikahan terjadi ketika ada 2 insan manusia memutuskan untuk mengikat janji sehidup semati. Dua insan yang bersatu tentu punya dua kebiasaan, pola pikir, pengalaman, trauma, dan harapan yang berbeda. Mungkin harapan utamanya satu yaitu bahagia selamanya bersama-sama. Kenyataannya menyatukan dua keturunan adam tidak semudah melekatkan dua kertas dengan lem. Bahkan pasangan yang meyakini pasangannya adalah belahan jiwa, cinta sejati, ternyata tetap harus melalui jalan yang berliku penuh kerikil.

Cinta ketika tumbuh akan selalu diuji oleh segala macam konflik, apakah cinta dua insan ini punya kekuatan yang hebat untuk meredam tegangan konflik? Hingga kedua pasangan berikar kembali untuk berusaha sekuat tenaga dan hati untuk terus mengobarkan api asmara.

Nasehat paling populer yang diterima suami istri adalah berkompromi, menurunkan ego masing-masing agar bertemu di titik temu yang terbaik. Selama ini saya meyakini kompromi berarti harus sejalan mewujudkan asa, visi misi, dan keinginan dalam hidup. Ketika dua insan ini berjalan berlawanan arah, mereka (atau salah satu) perlu berbelok agar saling bertemu, saling berkompromi agar tercipta keharmonisan dan sinergi dalam hidup rumah tangga. Tetapi konsep itu mulai terkikis, khususnya untuk saya, setelah beragam konflik dan pertengkaran terjadi dalam hidup pernikahan. Saya menyadari untuk menciptakan keharmonisan tidak harus sejalan. Sevisi misi penting tetapi tidak harus sejalan.

Sejak kecil kita dibimbing untuk toleran dan menghargai perbedaan, kenapa setelah menikah kita harus menghapus konsep itu? Saya menyadari yang harus dilakukan pasangan adalah menuju tujuan akhir yang sama, meskipun terkadang jalannya tidak beriringan, tidak bisa bergandengan tangan.

Kompromi juga berarti suami berjalan ke kanan, istri berjalan ke kiri, tetap seperti itu, kemudian di satu titik mereka bertemu di persimpangan. Memaksakan pasangan yang berjalan berbeda arah, terkadang justru menciptakan ledakan yang mematikan. Tetapi ketika tetap berjalan berbeda arah tetapi dengan menuju tujuan yang sama, hasilnya akan memunculkan sikap toleran, sikap mengasihi, sikap empati dan simpati.

Tentu saja konsep kompromi ini tidak bisa diaplikasikan ke semua pasangan. Masing-masing pasangan punya kebutuhannya sendiri. Jika dua insan ini bersedia berjalan beriringan bergandengan tangan, itu langkah yang terbaik untuk mereka.

Bagi saya, sebagai umat islam, sesuai ajaran agama, tugas saya adalah mematuhi suami selama tidak melanggar syariat islam. Begitu juga dengan kompromi, selama tidak melanggar batasan agama dan batasan kewajaran, berjalan berbeda arah dengan tujuan yang sama akan tetap menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.

Leave a comment

search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close